Tien (Tony Jaa) adalah seorang putra Jendral yang terpaksa harus melihat kedua orang tuanya dibantai Lord Rajsena yang ingin menguasai seluruh negeri. Tien yang berhasil lolos dari pembantaian kemudian ditangkap oleh pedagang budak yang bermaksud menjualnya pada para bangsawan.
Sebelum Tien sempat dijual sebagai budak, seorang pria bernama Chernang yang kemudian menculik Tien. Chernang kemudian mengajarkan bermacam jenis bela diri pada Tien. Bertahun kemudian, Tien yang menguasai berbagai macam bela diri kemudian diangkat sebagai ketua kelompok yang sebelumnya dipimpin oleh Chernang.
Suatu ketika, secara tak sengaja, Tien melihat sebuah pengumuman bahwa Lord Rajsena sedang mencari petarung terbaik untuk menjadi pengawalnya. Tien dengan mudah dapat melewati ujian ini dan berhasil menjadi orang kepercayaan Lord Rajsena. Kini Tien punya kesempatan untuk membalas dendam kematian kedua orang tuanya. Namun bila tak hati-hati maka nyawa Tien sendiri yang akan menjadi korban.
Sebenarnya tak banyak yang dijanjikan oleh film yang disutradarai oleh Tony Jaa ini. Ide cerita masih seputar heroisme ala film-film Shaw Brothers bahkan nyaris tanpa sentuhan apapun. Malah bisa dibilang ide cerita film ini tak jauh dari cerita drama televisi yang hanya menjual 'emosi' pada penonton tanpa ada kedalaman cerita atau karakter. Artinya, penonton akan 'dipaksa' untuk mencintai sang tokoh protagonis dan membenci tokoh antagonis dengan berbekal alasan-alasan klasik.
Sebenarnya tak ada yang salah dengan ide cerita ini selama dari sisi visual masih ada yang mengimbanginya. Beberapa film laga juga mengusung ide cerita yang kurang lebih sama namun mereka berhasil tampil dengan baik karena koreografi tarung yang fresh, special effect yang memukau atau permainan sudut pengambilan gambar yang baik. Sayangnya, itu semua tak ada dalam film yang satu ini.
Sudut pengambilan gambar terasa datar dan bahkan editing terasa terpotong-potong sehingga alur dari satu adegan ke adegan yang lain terasa tersendat-sendat. Akibatnya, jalan cerita yang memang kurang kokoh jadi terasa makin lemah. Apa lagi karakter masing-masing pemerannya juga tak terlalu dalam sehingga kesan artifisial sangat terasa sekali.
Koreografi tarung yang diharap mampu menjadi sebuah suguhan yang memuaskan pun gagal menjadi daya tarik. Pengambilan gambar dari jarak jauh sementara beberapa pemeran tampak sedang 'menunggu giliran' bertarung malah semakin memperburuk performa film ini. Sebenarnya dengan editing yang baik dikombinasi dengan pengambilan gambar dari jarak dekat akan sedikit menolong koreografi tarung film ini. Tentunya itu membutuhkan seorang sutradara yang cukup jeli.
Singkatnya, film ini gagal menyajikan sebuah tontonan yang benar-benar bisa dinikmati dan meski ending film dibuat 'terbuka', tak ada rasa penasaran yang cukup kuat untuk menonton kelanjutan dari film yang sebenarnya adalah prekuel dari film berjudul ONG BAK ini. (kpl/roc)
Sebelum Tien sempat dijual sebagai budak, seorang pria bernama Chernang yang kemudian menculik Tien. Chernang kemudian mengajarkan bermacam jenis bela diri pada Tien. Bertahun kemudian, Tien yang menguasai berbagai macam bela diri kemudian diangkat sebagai ketua kelompok yang sebelumnya dipimpin oleh Chernang.
Suatu ketika, secara tak sengaja, Tien melihat sebuah pengumuman bahwa Lord Rajsena sedang mencari petarung terbaik untuk menjadi pengawalnya. Tien dengan mudah dapat melewati ujian ini dan berhasil menjadi orang kepercayaan Lord Rajsena. Kini Tien punya kesempatan untuk membalas dendam kematian kedua orang tuanya. Namun bila tak hati-hati maka nyawa Tien sendiri yang akan menjadi korban.
Sebenarnya tak banyak yang dijanjikan oleh film yang disutradarai oleh Tony Jaa ini. Ide cerita masih seputar heroisme ala film-film Shaw Brothers bahkan nyaris tanpa sentuhan apapun. Malah bisa dibilang ide cerita film ini tak jauh dari cerita drama televisi yang hanya menjual 'emosi' pada penonton tanpa ada kedalaman cerita atau karakter. Artinya, penonton akan 'dipaksa' untuk mencintai sang tokoh protagonis dan membenci tokoh antagonis dengan berbekal alasan-alasan klasik.
Sebenarnya tak ada yang salah dengan ide cerita ini selama dari sisi visual masih ada yang mengimbanginya. Beberapa film laga juga mengusung ide cerita yang kurang lebih sama namun mereka berhasil tampil dengan baik karena koreografi tarung yang fresh, special effect yang memukau atau permainan sudut pengambilan gambar yang baik. Sayangnya, itu semua tak ada dalam film yang satu ini.
Sudut pengambilan gambar terasa datar dan bahkan editing terasa terpotong-potong sehingga alur dari satu adegan ke adegan yang lain terasa tersendat-sendat. Akibatnya, jalan cerita yang memang kurang kokoh jadi terasa makin lemah. Apa lagi karakter masing-masing pemerannya juga tak terlalu dalam sehingga kesan artifisial sangat terasa sekali.
Koreografi tarung yang diharap mampu menjadi sebuah suguhan yang memuaskan pun gagal menjadi daya tarik. Pengambilan gambar dari jarak jauh sementara beberapa pemeran tampak sedang 'menunggu giliran' bertarung malah semakin memperburuk performa film ini. Sebenarnya dengan editing yang baik dikombinasi dengan pengambilan gambar dari jarak dekat akan sedikit menolong koreografi tarung film ini. Tentunya itu membutuhkan seorang sutradara yang cukup jeli.
Singkatnya, film ini gagal menyajikan sebuah tontonan yang benar-benar bisa dinikmati dan meski ending film dibuat 'terbuka', tak ada rasa penasaran yang cukup kuat untuk menonton kelanjutan dari film yang sebenarnya adalah prekuel dari film berjudul ONG BAK ini. (kpl/roc)